Rabu, 04 Juni 2008

Satu

Aku kehilangan makna
Di setiap kata yang ingin terucap
Aku pilih bungkam seribu bahasa
Serupa beo yang belajar berucap


Aku kehilangan arti
Di setiap langkah yang kukayuh
Aku pilih berhenti setengah jalan
Serupa kafilah kehabisan bekal

Di sini aku berdiri
Untuk pertaruhan harga diri
Di sini di atas tanah peninggalan nenek moyangku
Kuteriakkan hak kemanusiaanku

4 Saudagar

Empat saudagar kaya dating menawar setiap jengkal tanah kelahiranku
Harga bergaransi
Harga terjangkau
Harga ekonomis

Empat saudagar kaya memperebutkan tanah leluhurku
Bagian barat
Bagian timur
Bagian utara
Bagian selatan


Empat saudagar kaya mengibar bendera kebanggaannya
Merah
Putih
Kuning
Biru, warna-warni

Empat saudagar kaya, siapakah dirimu?
Dari mana asalmu?
Kapan kau mengenal tanah leluhurku ini?
Kau terasa asing

Tulus Hati

Kau hadir di saat aku jadi pelupa
Lupa akan parasmu
Lupa akan warnamu
Lupa akan aroma tubuhmu


Kau telah membawa cintaku yang sederhana
Ketika aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Kau telah membawa ketulusanku
Di saat aku masih punya ketulusan

Kini warna pelangi telah berubah
Tak ada lagi warna di antara warna
Putih awan telah menyapu
Tak ada bekas tersisa

Lembaran-lembaran hidup telah kututup
Sejarah telah bersalin
Akan kucipta suasana baru
Di antara kesederhanaan yang kumiliki

Mei 2008: Wajah Negeriku

Perempuan tua menenteng jergen berwarna lusuh
Mengantri dikejauhan 3 kilometer
Rela terpanggang panas terik
Untuk menyambung hidup siang nanti
Kau bungkuk karena rajin menunduk
Di antara para parlente
Di antara orang-orang legam berkumis tebal
Di antara sesame pencari hidup


Kau jauh meninggalkan atapmu
Yang rindang di bawah bagunan bersusun
Di atas warisan nenek moyangmu
Di atas kejamnya kehidupan

Cucumu berteriak untukmu
Mengusung susunan huruf – huruf mati
Mengarak rintihan hatimu
Di tengah perjuangan hidupmu

Gumpalan asap tebal membumbung tinggi
Ban-ban penggilas terbakar api
Yang menggilas tanahmu dulu
Yang mengancam hidupmu kini
Cucumu masih sajak berteriak
Karena hidup masih beriak
Melawan arus yang berombak
Walau harus bungkam tertembak

Negeri di Zaman Modern

Keraguanku kepadamu semakin menjadi-jadi
Ketika media massa memberitakan betapa sakitnya dirimu
Saat tayangan media elektronik hanya seputar isak tangis anak bangsa
Di kala dunia maya mengupas kedukaanmu


Keduakaan menjadi sebuah tradisi
Rintihan menjadi sebuah mata rantai
Air mata menjadi hujan membasahi negeri ini
Kata-kata menjadi sekarat

Wahai para raja negeri ini
Adakah kamu tanpa kami
Adakah bahagiamu tanpa air mata kami
Adakah citamu tanpa derita kami

Duh anak bangsa negeri ini
Sejarah mencatat perjalanan hidupmu
Di atas hamparan padang mencari oase
Di atas hamparan lautan hampir mengering

Sajak Ini

Aku tulis sajak ini
Ketika kata banyak bersembunyi
Di balik kantong-kantong safari
Ketika kata banyak terselip dalam amplop
Ketika kata jadi pasak palu siding


Aku tulis sajak ini
Ketika kata dig anti frasa yang kehilangan rasa
Bukan satu kata satu arti
Lebih pilih frasa tanpa diksi

Aku tulis sajak ini
Ketika kamus jadi kitab yang tersimpan rapi
Ketika manusia mencipta kata sendiri
Kata dan arti yang dipahami sendiri

Aku tulis sajak ini
Ketika aku mencari arti

Selasa, 26 Februari 2008

BELAJAR BUAT PUISI

Permintaan

Akhir Februari’08

Andai aku boleh meminta
Kuingin kau tetap jadi rembulan
Andai aku bisa meminta
Kuingin kau tetap jadi mawar di taman

Andai aku bisa meminta
Kuingin kau jadi penawar kerinduan
Andai aku boleh aku meminta
Kuingin kau jadi pelipur kesunyian

Dua hati takkan sekata tanpa hadirmu
Dua jiwa takkan satu rasa tanpamu
Dua asa berwujud atas restumu
Dua raga dua jiwa erat jadi satu



Karunia

Hadirmu menebar sejuta aroma kedamaian
Terbelalak mata menatap tajam ke hadapmu
Menapaki setiap helai untaian rambutmu
Setiap lekuk indah wajahmu
Segala mimikmu...segala patomimikmu
Duh mahluk sempurna ciptaan-Mu

Terpendam harap menyelimuti asa
Membawa bayang ke alam semu
Awan cerah ikut mengiringi
Membentang warna-warni permadani
Menuju tahta bertiara
Raja sehari di singgasana maya

Engkau jauh di negeri sana
Melambaikan tangan persahabatan
Negerimu berlaut dalam dan luas
Negeriku berbukit cuam dan cadas
Lambaianmu tinggal siluet
Ya....siluet

Bontang, penghujung Februari ‚08